Fiant-News, Surabaya - Industri rokok di tanah air khususnya Jatim tengah berada diujung tanduk. Dibalik kepulan asap yang memabukkan namun terbentang jalan terjal yang pelan-pelan membuat industri ini sekarat.
Padahal, penerimaan cukai tahun lalu yang dihasilkan dari industri rokok mencapai Rp 55 triliun. Sumbangan terbesar dari komunitas petani tembakau, cengkeh, pekerja pabrik, dan penghisap rokok.
Kendati menghasilkan penerimaan cukai yang cukup besar. Namun, industri rokok Jatim di tengah perjalanannya terbentur adanya regulasi pengendalian dampak produk tembakau terhadap kesehatan.
Bahkan, melalui forum dunia, WHO misalnya organisasi kesehatan dunia ini lewat Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), yang melahirkan kesepakatan mengendalikan perdagangan rokok agar tidak mengganggu kesehatan masyarakat. Kondisi ini belum ditambah adanya fatwa haram merokok yang dikeluarkan oleh organisasi islam.
"Keluarnya regulasi dari badan dunia WHO dan fatwa haram soal rokok secara tidak langsung mematikan industri rokok dalam negeri khususnya di Jatim," kata Ketua Gabungan Perusahaan Rokok (Gapero) Surabaya, Sulami Bahar kepada beritajatim.com, Kamis (30/9/2010).
Data Gapero Jatim menyebutkan ada 39 perusahaan rokok yang tergabung di organisasi. Salah satunya adalah PT Gudang Garam Tbk, PT HM.Sampoerna Tbk, PT Bentoel International Investama Tbk, dan PT Nusa Prima (rokok penamas) dan lain-lain. Perusahaan rokok ini ada sebagian yang memproduksi sigaret kretek tangan (SKT) dan sigaret kretek mesin (SKM).
Diakui Sulami Bahar, keberadaan regulasi dari dunia luar serta perda-perda yang ada sekarang ini sangat tidak menguntungkan bagi dunia usaha industri rokok.
Padahal, sebelum regulasi ini muncul perusahaan rokok sempat mengalami kejayaan di era tahun 2005-an. Tapi setelah memasuki tahun 2009 ke atas industri rokok mulai khawatir. Sebab, jika regulasi dari WHO terus bergulir seperti bola salju maka tidak menutup kemungkinan satu per satu industri rokok di Jatim bakal 'mati suri'.
"Sebelum kami mati suri industri rokok yang tergabung di Gapero tetap memberi masukan ke pemerintah pusat. Selain masukan, produsen rokok juga melakukan inovasi di tiap produknya dan memperluas market selain diluar Indonesia serta memperbanyak merek baru dengan kadar nikotine yang rendah," ujarnya.
Kendati telah menyepakati lewat forum FCTC. Menurut Sulami Bahar, pemerintah sepertinya masih harus berpikir panjang dan berhati-hati dalam menyikapi regulasi yang telah disepakati. Pertama, industri rokok merupakan sumber pendapatan pajak bagi pemerintah dan penyerapan tenaga kerja. Kedua, sumbangan tenaga kerja pada sektor lain yang terkait dengan industri rokok.
Data Gapero Surabaya menyebutkan, tenaga kerja yang bekerja di perusahaan rokok mencapai 30 hingga 35 ribu orang. Dari jumlah itu, hampir 80 persennya bekerja di PT HM.Sampoerna Tbk. Sisanya menyebar ke perusahaan-perusahaan rokok berskala menengah dan kecil.
Banyaknya regulasi terkait dengan tembakau juga membuat pelaku usaha di sektor industri rokok mulai gerah. Menurut Ketua Harian Forum Masyarakat Industri Rokok Indonesia (Formasi) Heri Susianto, selain regulasi FCTC dan fatwa haram rokok. Rencana keluarnya regulasi peraturan Menteri Keuangan (permenkeu) yang mewajibkan pabrik rokok memiliki lahan 200 meter persegi sangat ditentang. Sebab, regulasi ini sangat tidak relevan dan sengaja mematikan industri rokok.
"Masa ada aturan ini ironisnya lagi kalau tidak memiliki lahan yang diwajibkan ujung-ujungnya pabrik yang bersangkutan harus ditutup," ujarnya, Kamis (30/9/2010).
Heri menuding pemerintah sekarang ini sepertinya tidak mau peduli sama industri rokok. Tapi, dibalik itu semua pemerintah sangat berharap penerimaan cukai dari rokok pada tahun 2010 bisa meningkat lagi.
"Kalau tidak salah tahun ini mereka pemerintah menargetkan penerimaan dari cukai rokok naik Rp 59,3 triliun. Bahkan, pada tahun 2011 ditarget naik lagi menjadi Rp 60,7 triliun. Kondisi ini sangat ironis dengan banyaknya regulasi yang dibenturkan ke industri rokok," tuturnya.
Senada dengan Director External Relation Communications & Contributions PT HM Sampoerna Tbk, Yos Ginting. Menurutnya, soal regulai pertembakauan bagi industri rokok maka pemerintah perlu membuat regulasi jangka panjang yang mengacu di dalam 'roadmap' Industri Hasil Tembakau. Sebab, industri ini dari sisi ekonomi maupun budaya tidak bisa dilepaskan secepatnya.
"Saya khawatir jika sudah menyepakati dan meratifikasi FCTC maka Indonesia akan diwajibkan mengambil pendekatan regulasi yang berbeda dan sangat membatasi derap langkah pelaku industri tembakau dalam negeri," tuturnya, Kamis (30/9/2010).
Melihat berbagai kendala tersebut, maka pemerintah seharusnya membuat peraturan secara bertahap, dan mulai mendorong agar industri rokok mulai memproduksi jenis rokok mild. Namun, hal ini tidak semudah seperti membalik telapak tangan mengingat industri rokok skala kecil, yang memproduksi SKT (Sigaret Kretek Tangan) tidak mungkin dengan mudah beralih menjadi industri yang menggunakan SKM (Sigaret Kretek Mesin), karena biaya untuk pembelian mesin sangat besar.
Disatu sisi, suatu produk akan dipengaruhi oleh hukum pasar, apabila masih banyak penggemar rokok kretek. Tentunya, tidak mudah untuk berganti selera, maka mereka juga tidak akan membeli rokok mild. Kondisi ini bisa dijembatani jika industri rokok membuat tingkatan mild (rendah nikotin). Kendati perlu waktu panjang karena harus mengedukasi masyarakat yang semula penikmat rokok kretek secara pelan-pelab bisa beralih ke rokok jenis mild.
Disamping itu, perlu juga memikirkan nasib petani tembakau yang hasilnya untuk dikonsumsi di dalam negeri. Kondisi ini perlu dipikirkan bersama, diberikan sosialisasi dan pengarahan agar mulai menanam produk pertanian lain, yang hasilnya tetap bernilai ekonomi tinggi. Dengan demikian apabila nantinya keluar peraturan pemerintah, maka tidak banyak yang menjadi korban.
Padahal, penerimaan cukai tahun lalu yang dihasilkan dari industri rokok mencapai Rp 55 triliun. Sumbangan terbesar dari komunitas petani tembakau, cengkeh, pekerja pabrik, dan penghisap rokok.
Kendati menghasilkan penerimaan cukai yang cukup besar. Namun, industri rokok Jatim di tengah perjalanannya terbentur adanya regulasi pengendalian dampak produk tembakau terhadap kesehatan.
Bahkan, melalui forum dunia, WHO misalnya organisasi kesehatan dunia ini lewat Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), yang melahirkan kesepakatan mengendalikan perdagangan rokok agar tidak mengganggu kesehatan masyarakat. Kondisi ini belum ditambah adanya fatwa haram merokok yang dikeluarkan oleh organisasi islam.
"Keluarnya regulasi dari badan dunia WHO dan fatwa haram soal rokok secara tidak langsung mematikan industri rokok dalam negeri khususnya di Jatim," kata Ketua Gabungan Perusahaan Rokok (Gapero) Surabaya, Sulami Bahar kepada beritajatim.com, Kamis (30/9/2010).
Data Gapero Jatim menyebutkan ada 39 perusahaan rokok yang tergabung di organisasi. Salah satunya adalah PT Gudang Garam Tbk, PT HM.Sampoerna Tbk, PT Bentoel International Investama Tbk, dan PT Nusa Prima (rokok penamas) dan lain-lain. Perusahaan rokok ini ada sebagian yang memproduksi sigaret kretek tangan (SKT) dan sigaret kretek mesin (SKM).
Diakui Sulami Bahar, keberadaan regulasi dari dunia luar serta perda-perda yang ada sekarang ini sangat tidak menguntungkan bagi dunia usaha industri rokok.
Padahal, sebelum regulasi ini muncul perusahaan rokok sempat mengalami kejayaan di era tahun 2005-an. Tapi setelah memasuki tahun 2009 ke atas industri rokok mulai khawatir. Sebab, jika regulasi dari WHO terus bergulir seperti bola salju maka tidak menutup kemungkinan satu per satu industri rokok di Jatim bakal 'mati suri'.
"Sebelum kami mati suri industri rokok yang tergabung di Gapero tetap memberi masukan ke pemerintah pusat. Selain masukan, produsen rokok juga melakukan inovasi di tiap produknya dan memperluas market selain diluar Indonesia serta memperbanyak merek baru dengan kadar nikotine yang rendah," ujarnya.
Kendati telah menyepakati lewat forum FCTC. Menurut Sulami Bahar, pemerintah sepertinya masih harus berpikir panjang dan berhati-hati dalam menyikapi regulasi yang telah disepakati. Pertama, industri rokok merupakan sumber pendapatan pajak bagi pemerintah dan penyerapan tenaga kerja. Kedua, sumbangan tenaga kerja pada sektor lain yang terkait dengan industri rokok.
Data Gapero Surabaya menyebutkan, tenaga kerja yang bekerja di perusahaan rokok mencapai 30 hingga 35 ribu orang. Dari jumlah itu, hampir 80 persennya bekerja di PT HM.Sampoerna Tbk. Sisanya menyebar ke perusahaan-perusahaan rokok berskala menengah dan kecil.
Banyaknya regulasi terkait dengan tembakau juga membuat pelaku usaha di sektor industri rokok mulai gerah. Menurut Ketua Harian Forum Masyarakat Industri Rokok Indonesia (Formasi) Heri Susianto, selain regulasi FCTC dan fatwa haram rokok. Rencana keluarnya regulasi peraturan Menteri Keuangan (permenkeu) yang mewajibkan pabrik rokok memiliki lahan 200 meter persegi sangat ditentang. Sebab, regulasi ini sangat tidak relevan dan sengaja mematikan industri rokok.
"Masa ada aturan ini ironisnya lagi kalau tidak memiliki lahan yang diwajibkan ujung-ujungnya pabrik yang bersangkutan harus ditutup," ujarnya, Kamis (30/9/2010).
Heri menuding pemerintah sekarang ini sepertinya tidak mau peduli sama industri rokok. Tapi, dibalik itu semua pemerintah sangat berharap penerimaan cukai dari rokok pada tahun 2010 bisa meningkat lagi.
"Kalau tidak salah tahun ini mereka pemerintah menargetkan penerimaan dari cukai rokok naik Rp 59,3 triliun. Bahkan, pada tahun 2011 ditarget naik lagi menjadi Rp 60,7 triliun. Kondisi ini sangat ironis dengan banyaknya regulasi yang dibenturkan ke industri rokok," tuturnya.
Senada dengan Director External Relation Communications & Contributions PT HM Sampoerna Tbk, Yos Ginting. Menurutnya, soal regulai pertembakauan bagi industri rokok maka pemerintah perlu membuat regulasi jangka panjang yang mengacu di dalam 'roadmap' Industri Hasil Tembakau. Sebab, industri ini dari sisi ekonomi maupun budaya tidak bisa dilepaskan secepatnya.
"Saya khawatir jika sudah menyepakati dan meratifikasi FCTC maka Indonesia akan diwajibkan mengambil pendekatan regulasi yang berbeda dan sangat membatasi derap langkah pelaku industri tembakau dalam negeri," tuturnya, Kamis (30/9/2010).
Melihat berbagai kendala tersebut, maka pemerintah seharusnya membuat peraturan secara bertahap, dan mulai mendorong agar industri rokok mulai memproduksi jenis rokok mild. Namun, hal ini tidak semudah seperti membalik telapak tangan mengingat industri rokok skala kecil, yang memproduksi SKT (Sigaret Kretek Tangan) tidak mungkin dengan mudah beralih menjadi industri yang menggunakan SKM (Sigaret Kretek Mesin), karena biaya untuk pembelian mesin sangat besar.
Disatu sisi, suatu produk akan dipengaruhi oleh hukum pasar, apabila masih banyak penggemar rokok kretek. Tentunya, tidak mudah untuk berganti selera, maka mereka juga tidak akan membeli rokok mild. Kondisi ini bisa dijembatani jika industri rokok membuat tingkatan mild (rendah nikotin). Kendati perlu waktu panjang karena harus mengedukasi masyarakat yang semula penikmat rokok kretek secara pelan-pelab bisa beralih ke rokok jenis mild.
Disamping itu, perlu juga memikirkan nasib petani tembakau yang hasilnya untuk dikonsumsi di dalam negeri. Kondisi ini perlu dipikirkan bersama, diberikan sosialisasi dan pengarahan agar mulai menanam produk pertanian lain, yang hasilnya tetap bernilai ekonomi tinggi. Dengan demikian apabila nantinya keluar peraturan pemerintah, maka tidak banyak yang menjadi korban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar