News Update :

Jumat, 29 Oktober 2010

Hemat Anggaran vs Optimalisasi

Fiant-News, Optimalisasi anggaran menjadi masalah utama yang selama bertahun-tahun belum berhasil diselesaikan pemerintah. Adapun penghematan anggaran bisa terwujud jika birokrasi tidak lagi berperilaku korup.

Pemerintah, dengan taktis, sempat “menunggangi” kemarahan publik atas isu kunjungan kerja dan studi banding anggota DPR ke luar negeri. Kamis (21/10) pekan lalu, ketika memimpin sidang kabinet paripurna di istana Bogor, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menekankan urgensi penghematan anggaran.

Di luar ruang sidang, sebagian elemen masyarakat masih meluapkan kekecewaan atas buruknya kinerja pemerintah, sementara elemen lain terus mengecam rencana sejumlah anggota DPR melakukan studi banding ke Yunani. Tidak salah jika Presiden menekankan pentingnya penghematan anggaran Ini persoalan lama.

Namun, dalam konteks persoalan pengelolaan anggaran terkini, isu utamanya bukan penghematan, melainkan optimalisasi anggaran. Pemanfaatan atau penyerapan anggaran belanja masih sangat memprihatinkan. Kecenderungan yang tidak menggembirakan ini sudah berlangsung bertahun-tahun.

Rendahnya optimalisasi anggaran pembangunan, khususnya belanja modal, tercermin dari lambannya penyerapan (realisasi proyek), besarnya jumlah dana pemda dalam instrumen sertifikat Bank Indonesia (SBI), dan gelembung sisa lebih pembiayaan anggaran (silpa) di akhir tahun anggaran. Pemerintah sudah berkali-kali mengakui dan menghardik dirinya sendiri berkait dengan lambannya penyerapan anggaran.

Menteri Keuangan Agus Martowardojo pernah mengungkapkan penyerapan anggaran di 20 kementerian/lembaga (K/L) masih lambat sehingga tidak maksimal mendorong pertumbuhan ekonomi.APBN-P 2010 mengalokasikan anggaran belanja K/L Rp366,1 triliun.

Hingga September 2010,penyerapannya baru 51 persen ekuivalen Rp187,4 triliun. Persentase penyerapan itu lebih rendah dibandingkan 2009 yang mencapai 55–56 persen untuk periode waktu yang sama. Pada tingkat pemerintah daerah lebih memprihatinkan lagi.

Tahun lalu, dilaporkan bahwa dana pemerintah daerah yang berasal dari Silpa mencapai Rp51 triliun. Jumlah dana pembangunan sebesar itu hanya ditempatkan di instrumen SBI dan Surat Utang Negara (SUN).

Idealnya, Presiden lebih menyoroti masalah ini dibandingkan mengedepankan isu penghematan anggaran. Bagaimanapun, penyerapan yang lamban dan gelembung silpa mencerminkan citra buruk pengelolaan atau manajemen pembangunan nasional.

Kalau kita mencari jawab atas penyebab buruknya pembenahan infrastruktur di pusat maupun daerah, sumber masalahnya adalah ketidakmampuan birokrasi negara mengoptimalisasi anggaran pembangunan. Kalau Presiden mengangkat isu penghematan anggaran, mungkin Kepala Negara merasakan ada pemborosan. Itu benar dan tak layak untuk dibantah.

Namun, kita harus tahu juga apa yang menyebabkan terjadinya pemborosan anggaran. Apa yang sebenarnya terjadi bukan pemborosan, melainkan dibocorkan. Pembocoran anggaran direkayasa dan sudah dijadikan modus untuk korupsi.

Itu sebabnya, banyak terjadi kasus penggelembungan atau mark up nilai proyek hingga kasus menurunkan spesifikasi teknis proyek. Kesimpulannya, untuk mewujudkan penghematan anggaran, negara harus konsisten memerangi korupsi. Sebab, korupsilah yang menjadi penyebab utama terjadinya “pemborosan” anggaran.

Agar birokrasi negara tidak terus mencuri anggaran, penegak hukum negara harus bersih. Jadi, kalau Presiden berkehendak birokrasi negara menghemat anggaran, langkah paling strategis yang harus diambil Presiden adalah jangan membiarkan upaya mafia hukum memperlemah peran dan fungsi KPK.

Solusi Optimalisasi
Di antara ragam persoalan yang sedang ditangani Presiden, perhatian ekstra terhadap upaya mengoptimalisasi anggaran pembangunan sangat urgen. Sebab, optimalisasi anggaran menjadi penentu progres pembangunan, serta menentukan tinggi-rendah dan baik buruknya kualitas pertumbuhan ekonomi negara.

Materi atau bahan mentah untuk merumuskan solusinya sudah ada. Jadi, tak perlu lagi menerka-nerka. Sebagai langkah awal, Presiden perlu mengajak birokrasi negara untuk memanfaatkan waktu kerja seoptimal mungkin.

Sudah lama terlihat kecenderungan bahwa birokrasi negara, pusat maupun daerah, tidak maksimal memanfaatkan 12 bulan waktu kerja. Di bulan Januari,sudah menjadi pengetahuan umum kalau para pegawai negeri hanya masuk kantor, tetapi kegiatan mereka tidak produktif.

Gejala ini menonjol di banyak pemerintah daerah. Baru di bulan Februari atau Maret, para Birokrat mulai mendiskusikan proyek-proyek yang menjadi kebutuhan daerahnya. Sekitar bulan April, diskusi proyek itu mulai dituangkan dalam perencanaan. Berarti, rencana proyek itu baru dibahas antara Mei dan Juni. Bayangkan, selama enam bulan waktu kerja hanya menghasilkan rencana proyek yang belum tentu final.

Semua rencana proyek itu bisa berantakan seketika kalau terjadi pergantian pejabat. Apalagi kalau yang diganti Kuasa Pejabat Anggaran. Setiap rencana proyek pun tidak menjalani proses yang mulus, misalnya karena kesalahan dalam mengonsep rencana atau tidak lengkapnya dokumen. Belum lagi jika aspek anggarannya harus mengalami revisi.

Dalam hal belanja pemerintah, banyak birokrat di pusat maupun daerah belum paham tentang mekanisme pengadaan barang dan jasa pemerintah sebagaimana diatur dalam Perpres 80 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Kalau hal ini bisa terjadi, pasti karena sosialisasi Perpres 80 itu belum menjangkau semua satuan kerja tingkat K/L maupun pemda.

Faktor lain yang telah menggejala di mana-mana adalah ketakutan para birokrat untuk melaksanakan proses tender proyek. Persyaratan untuk melaksanakan tender sering belum terpenuhi karena ketidaktahuan. Misalnya, persyaratan tentang sertifikasi.

Masih banyak yang belum tahu bagaimana mekanisme untuk mendapatkan sertifikasi itu. Banyak pejabat memilih menunda tender, daripada mengambil risiko tuduhan korupsi dan harus menghadapi pemeriksaan KPK. Persoalan lebih pelik dihadapi pemerintah daerah baru hasil pemekaran.

Selain awam dalam membuat dan menyusun rencana proyek dengan segala macam mekanisme dan persyaratannya, banyak pemda di daerah hasil pemekaran menghadapi kendala berupa rendahnya kualitas Sumber daya manusia (SDM). Karena itu, ketika menyetujui daerah pemekaran baru, faktor SDM harus juga diperhitungkan.

Untuk mengatasi beberapa kendala tersebut, Presiden bisa memerintahkan para Menko untuk mencari dan merumuskan solusi.Misalnya, dimulai dengan mengintensifkan sosialisasi Perpres 80 hingga ke daerah, menyeragamkan persyaratan tender dan membakukan konsep perencanaan proyek.

Jika solusi atas upaya optimalisasi anggaran tidak segera ditetapkan, kecenderungan penyerapan anggaran yang lamban akan menjadi masalah yang berlarut-larut. Akibatnya, pembangunan nasional tidak akan pernah bisa mencatat progres yang signifikan.

Optimalisasi penyerapan anggaran sendiri belum tentu menjanjikan pemanfaatan yang efektif alias hemat. Efektivitas pemanfaatan anggaran harus diperkuat oleh pengawasan yang juga efektif. Pengawasan harus komprehensif untuk mencegah mark up atau menurunkan spesifikasi proyek.

Kalau ambruknya jalan RE Martadinata di Jakarta Utara itu diinvestigasi secara komprehensif oleh lembaga independen, pasti akan ditemukan kasus penurunan spesifikasi teknis proyek. Kasus menurunkan spesifikasi teknis proyek itu terbilang ribuan, bahkan mungkin jutaan jumlahnya. Dia sudah dijadikan modus untuk korupsi. Di situlah salah satu titik sentral pemborosan anggaran pembangunan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

© Copyright Jalur Berita : Kabar Berita Terbaru dan Terkini 2010 -2011 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.